![]() |
Ini adalah buku bacaanku dikamar |
Ialah "Aku", mahasiswi berhijab yang sudah terlanjur menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Swasta Katolik di kota ku. Aku tidak menyesalinya, karena sekarang aku berhasil bertahan hingga 4 tahun dan sekarang aku sedang break sebelum melanjutkan BAB 3 skripsi ku.
Impianku dulu begitu tinggi, yakni hanya 3,5 tahun untuk meraih gelar S.Kom, bahkan dengan predikat cumlaud. Jujur indeks prestasi-ku bisa dikatakan "baik" yakni 3,5 keatas. Untuk level Teknik Informatika atau Computer Science bagi sebagian orang adalah prestasi. Belum lagi mereka melihat aku adalah seorang 'wanita' yang biasanya ahli dalam hal intuisi dan perasaan dibandingkan logika. Seperti yang kita ketahui bahwa jurusan "teknik" adalah jurusannya kaum adam yang didalamnya terdapat mata kuliah yang cenderung kearah logistik. Sedang teman-teman SMA-ku yang perempuan kebanyakan mereka mengambil jurusan kesehatan, akuntasi, atau bahasa.
Teknik Informatika umumnya diminati kaum adam, kalaupun wanita dia pasti hobi otak-atik komputer dan sedikit agak "kelaki-lakian" alias tomboy.
Dulu, aku memang tidak terlalu feminim, tp sejak aku hijrah (baca Dalam Hijrah-ku), aku mulai membiasakan diriku dengan berpakaian layaknya seorang muslimah. Ya, menggunakan kerudung, memakai rok, kaos kaki, namus setidaknya aku selalu menghormati kampus dengan kemeja dan sepatu kets.
Awalnya aku merasa comfort dengan keadaanku ini. Namun beberapa kerikil kecil mulai mengawali perjalanan hijrahku.
Orang takkan menyangka bahwa sejak lahir aku adalah seorang muslimah karena aku memiliki nama lengkap yang tidak "islami" sama sekali, (baca Margaerth? Who's that?). Ayahku seorang Nasrani, tapi dia seorang ayah yang hebat dan sangat menyayangiku. Ya, kami beda keyakinan.
Yup, kembali pada topik semula.
Ketika dosen memanggil namaku, pasti beliau-beliau akan menganggapku sama seperti dominasi yang lain. Mungkin saya seorang Protestan (seperti ayahku) atau Katolik.
Masuklah pada semester tujuh tepatnya saat itu aku hanya ada 1 mata kuliah yang menyebabkan aku jadi jarang ke kampus.
Dosen tercengang, begitupun teman-teman. Apa yang menyebabkanku berani-beraninya menggunakan hijab di kampus swasta katolik? Aku sendiri agak kurang menyangka dengan keberanian ini. Namun pada jam-jam terakhir, alhamdulillah mereka dapat "menerima"ku dengan berusaha memperlakukanku seperti aku yang belum berhijab kemarin-kemarin.
Mulailah pada saat penyerahan outline dan judul skripsi. Awalnya dosen-dosen hanya melihatku dengan pandangan sekilas langsung bersikap biasa saja. Ya, aku merasa aman sampai sejauh ini.
Tapi tak kusangka hari itu tiba, saat aku masuk ke ruangan dosen yang saat itu lumayan ramai dari biasanya, ramai oleh dosen yang baru saja mengawas ujian serta beberapa mahasiswa yang juga sibuk konsultasi sepertiku, saat itu aku sedang konsultasi BAB II. Di luar ruangan dosen sudah banyak yang mengantri.
Dosen wanita itu mengatakan "Apakah style seperti itu sedang nge-trend?"
Lalu dosen laki-laki lain yang ternyata itu direktur pula yang entah menjawab apa, suaranya agak samar-samar.
Suara dosen perempuan itu agak lebih diperbesar "Ya, kan kita ini seharusnya pemerataan. Seluruh pakaian mahasiswa mahasiswi sudah ada ketentuannya. Tidak boleh membawa nama RAS." timpalnya.
Aku mendapat sindiran yang sedikit memporak-porandakan hatiku. Apalah aku bukan seorang Asiyah istri Firaun yang terbiasa menghadapi situasi dan masalah kecil semacam ini. Padahal dosen pembimbing dihadapanku ini biasa saja, tidak ada keberatan sama sekali melihatku seperti ini.
Nyaris otakku terbagi dua saat itu, antara penjelasan dosen pembimbingku dengan sindiran yang ada dibelakangku. Belum lagi pandangan mahasiswa yang dari berbagai jurusan menatapku seperti aku ini freak.
Keringatku mulai mengucur, aku tetap diam dan berusaha bijaksana dalam menyimak penjelasan dari dosen pembimbing yang mana saja hal-hal yang harus di-revisi dalam penulisan skripsiku.
Saat itu aku merasa sendiri, sahabat karibku tidak ada disisiku yang bisa menguatkanku. Belum lagi saat menuju parkiran seluruh pandangan mahasiswa yang aku tahu mereka adalah adik-adik tingkat menatapku tajam dan dingin.
Aku tetap tenang dan beristighfar sebanyak mungkin. Hei, ini cuma kerikil kecil, lupakan saja. Aku menghibur sendiri diparkiran kampus.
Namun aku tetaplah aku, aku adalah wanita yang sangat sensitif dalam perkara hati.
Seolah watak asli dunia tampak didepan mata kepalaku sendiri, detik menjelang pengambilan skripsi awalnya begitu menyenangkan bagiku, namun ternyata sulitnya disaat aku mulai baru berhijrah menjadi muslimah yang lebih baik.
Berbagai masalah pribadi dan masalah keluarga membuatku semakin enggan melanjutkan skripsiku yang padahal tinggal beberapa langkah lagi.
Namun beberapa bulan belakangan aku mengalami fase yang cukup berat dalam hidupku seakan impianku semuanya hancur.
Jangankan melanjutkan skripsi, memandangnyapun aku enggan.
Seolah kampus adalah tempat horor bagiku.
Bahkan sahabatku mengatakan kaprodi sedang menanyakan keadaanku (baca : keadaan skripsi-ku), beliau takut aku kacau. Deadline tersisa kurang dari 20 hari penyerahan BAB 3, BAB 4, dan BAB 5. Namun aku belum jua melanjutkannya.
Tiba-tiba aku lupa dengan tujuan program yang handak kubuat.
Aku mulai ikhtiar sekali lagi, jikalau aku mesti mengganti judul maka itu yang terbaik dari Allah untukku.
Aku sendiri meragukan untuk bekerja dibidang IT akhir-akhir ini, apakah pasionku yang telah berubah.
Aku pernah membaca apabila seorang programmer adalah pria, maka ia akan sedikit "lupa" pada anak dan istrinya, dikejar deadline, dan di otaknya cuma coding.
Bagaimana ketika sholat, tiba-tiba saat membaca al-fathihah dia mendapat ide? Bukankah itu dosa.
Apalagi jika programmernya seorang akhwat (teman-teman pengajianku menyebutku "akhwat")! Aku tak yakin profesi ini tak menggangguku sebagai istri, ibu, dan pendakwah yang baik. Aku mengenal watakku.
Ketika aku menjadi seorang programmer, maka aku harus menjadi programmer yang total.
Sekarang aku lebih memilih jalanku merintis di dunia fashion.
Aku lumayan bisa mendesain hijab, dan aku juga bisa menjahit.
Alhamdulillah ibu mendukungku dengan mem-privat-kan aku kursus menjahit berkenaan dengan hobiku dibidang fashion sejak aku SMP.
Jujur kuliah dijurusan Teknik Informatika adalah pilihan ibu, karena ibu tahu kelebihanku dalam ilmu pasti seperti matematika dan logika.
Kuliah di kampus swasta katolik juga pilihan ibu, karena ibu tidak mau aku kuliah jauh dari rumah (alasan yang sedikit menggelikan).
Aku dikenal anak rumahan, ayah, ibu, kakak-kakak, abang ipar, bahkan adikku satu-satunya yang bungsu sangat memanjakanku. Namun sejak aku berhijrah (insyaAllah ini adalah hijrahku), aku berharap aku lebih bijaksana dan dewasa dalam bertindak.
Aku berharap segera menjadi muslimah yang lebih dewasa atas bimbingan murobbiyahku, keluargaku, teman-teman, dan terutama bimbingan Allah melalui ujian hidup.
Ujian hidup setidaknya menjadikan aku lebih dewasa dan berpikiran terbuka apa makna hidup ini.
Aku tak perlu mengejar karir demi mendapat penghormatan seperti niatku sebelumnya.
Karir ini demi imanku. Bagaimanapun aku akan tetap ikhtiar dalam menyelesaikan skripsi ini sebagai pernghormatanku pula kepada orang tuaku yang telah bersusah payah menyekolahkanku hingga tahap ini. Aku tak boleh mengecewakan mereka.
Hobi adalah hobi.
Kewajiban adalah kewajiban.
Yang penting ialah melakukan yang terbaik dan serahkan semuanya kepada Allah Azza Wa Jalla.
Apalah artinya dihormati manusia sedangkan aku belum spesial di mata Allah?
Salam ukhuwwah! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar